Senergi Agama-Agama dan Kebudayaan Bali
Kata sinergi (synergy) dalam The New Lexicon Webster International Dictionary of The English Language (1976:996) dinyatakan sebagai: cooperation, working together, combined action, the cooperative action of two or more parts or organs of the the body; the cooperative interaction of different drugs. Berdasarkan uraian sebelumnya maka Agama Hindu sangat dominan pengaruh atau sinerginya dengan kebudayaan Bali dibandingkan dengan agama-aqgama lainnya. Untuk mengetahui bagaimana kebudayaan Bali (masa prasejarah) mendapat pengaruh dari Agama Hindu (yang mengantarkan memasuki masa sejarah) kiranya dapat dilihat melalui kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan seperti yang diajukan oleh C. Kluckhohn dalam karangannya Universal Categories of Culture (1953) seperti yang disetujui oleh Koentjaraningrat (1980:217) yang terdiri dari: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan sistem kesenian. Pengaruh Agama Hindu terhadap 7 unsur kebudayaan Bali dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)Bahasa. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Agama Hindu masuk ke Bali pada mulanya melalui media bahasa Sanskerta kemudian sejak pemerintahan Mahendradattagunapriyadharmapatni (permaisuri raja Dharmodayana Varmedeva), maka bahasa Jawa Kuno menggantikan media berbagai susastra Hindu dan hal ini tampak pengaruhnya terhadap bahasa Bali dewasa ini. Dalam mantra stuti masih menggunakan bahasa Sanskerta4.
2)Sistem pengetahuan. Melalui media bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno masyarakat Bali memiliki berbagai sistem pengetahuan yang bersumber dari Agama Hindu dan budaya India, antara lain sistem pengobatan (ausadha), pembangunan rumah (hastakosalakosali dan hastabhumi) dan lain-lain.
3)Organisasi sosial. Pada prasasti-prasasti Bali Kuno sebelumnya disebut adanya sistem pemerintahan serta adanya lembaga kerajaan yang disebut panglapuan, paramaksa, samohanda, dan senapati di panglapuan. Sejak tahun 1001 Masehi, lembaga tersebut dinamakan pakira-kira i jero makabehan yang anggotanya terdiri dari para senapati (panglima perang) dan para pandita Siva dan Buddha (Ardana, 1982:31), demikian pula sistem pemerintahan di pedesaan seperti adanya karaman, thani, dan dalam perkembangan selanjutnya di Bali dikenal adanya tipe desa kuno dengan sistem pemerintahnan Mauluapad dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh raja atau para Punggawa.
4)Sistem peralatan hidup. Di samping sistem yang peralatan hidup yang merupakan produk asli Bali, sejak zaman prasejarah sudah pula memakai peralatan yang berasal dari luar, misalnya dapat dilihat dari tinggalan gerabah Arikamedu dari India Selatan yang rupanya sudah berlangsung sejak awal abad Masehi.
5)Sistem mata pencaharian. Pada masa prasejarah hingga dewasa ini rupanya pertanian yang kemudian berkembang dalam arti luas termasuk perkebunan walaupun merupakan hal yang sangat universal, pengaruh Agama Hindu tampak dari semua sistem pencaharian itu dikaitkan dengan Agama Hindu, artinya dalam memenuhi kebutuhan hidup senantiasa dikaitkan dengan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tampak hingga dewasa ini sistem pengairan yang sangat terkenal yakni Subak selalu dikaitkan dengan Agama Hindu, misalnya disetiap mata air dan di tempat pembagian air dibangun pura Ulunsui, Bedugul, dan sebagainya.
6)Sistem Religi. Ketika Agama Hindu masuk ke Bali, masyarakat Bali saat itu telah menganut kepercayaan kepada roh suci leluhur, adanya penguasa alam, dan gunung-gunung yang dianggap suci. Agama Hindu yang memiliki keyakinan (Sraddha) yang sama dengan kepercayaan setempat, yakni Pitrapuja (pemujaan kepada roh suci leluhur) mudah saja diterima oleh masyarakat Bali saat itu. Dan hal tersebut berlangsung hingga saat ini. Kedatangan Agama Hindu ke Bali tidak mengubah kepercayaan setempat tetapi memberikan pencerahan dengan lebih mengembangkan kepercayaan setempat. Pemujaan kepada penguasa tertinggi masyarakat Terunyan yakni Da Tonta berupa arca batu megalitik, dipermulia dengan menempatkan kata Bhattara pada nama sebelumnya dan kemudian disemayamkan pada bangunan Meru. Hal ini dapat diketahui antara lain dari prasasti Terunyan yang berasal dari 818 Saka (896 M), isinya tentang pemberian ijin kepada nanyakan pradhana dan bhiksu agar membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banua Bharu. Prasasti lainnya berasal dari tahun 813 Saka (891 M) isinya tentang pemberian ijin kepada penduduk desa Turuñan untuk membangun kuil bagi Bhatara Da Tonta. Oleh karena itu mereka dibebaskan dari beberapa jenis pajak, tetapi mereka ini dikenakan sumbangan untuk kuil tadi. Beberapa jenis pajak harus dibayar setiap bulan Caitra dan Magha, pada hari kesembilan (mahanavami). Bila ada utusan raja datang menyembah (sembahyang) pada bulan Asuji, mereka harus diberi makanan dan sebagainya (Sartono, 1976:136). Dalam prasasti itu juga menyebutkan haywahaywan di magha mahanavami (Goris, 1954:56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di magha mahanavami berarti perayaan Magha Mahanavami. Di India Mahanavami identik dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan kepada para leluhur (Dubois, 1981:569). Swami Sivananda (1991:8) mengidentikkan Dasara dengan Durgapuja yang dirayakan dua kali setahun, yakni Ramanavaratri atau Ramanavami pada bulan Caitra, dan Durganavaratri atau Durganavami pada bulan Asuji (September-Oktober). Perayaan ini disebut juga Wijaya Dasami atau Sraddha Wijaya Dasami (hari pemujaan kepada leluhur dan perayaan kemenangan selama sepuluh hari). Hari raya ini di Bali (dirayakan dua kali dalam setahun) dikenal dengan nama Galungan yang hakekatnya adalah Durgapuja atau Sraddha Vijaya Dasami (hari pemujaan kepada leluhur dan perayaan kemenangan selama sepuluh hari) yang dirayakan secara besar-besaran sejak Gunapriyadharmapatni di-dharma-kan sebagai Durgamahisasuramardhini di pura Kedharma Kutri, Blahbatuh, Gianyar5.Beberapa hari raya Hindu di India dipribhumikan ke dalam bahasa lokal antara lain Ayudhapuja di Bali disebut Tumpek Landep, Pasupatipuja disebut Tumpek Uye, dan Sankarapuja disebut Tumpek Pengarah. Yatra disebut Melis, Makiyis, atau Melasti dan beberapa persembahan seperti puja disebut daksina, jajan dari beras berlobang di India selatan disebut Kalimaniarem, di Bali disebut Kaliadrem6 dan sebagainya. Karena adanya persamaan dalam keyakinan dengan religi prasejarah, maka masyarakat Bali saat itu tidak kesulitan dalam memeluk Agama Hindu yang ajarannya telah terdokumentasi dalam bentuk tulisan atau dibawa oleh para pandita.
7)Sistem Kesenian. Sistem ini (kesenian Bali) walaupun tidak bisa dirunut asalnya secara pasti namun adanya pertunjukkan wayang kulit yang oleh Brandes disebut sebagai kesenian asli Indonesia, di India selatan kita jumpai seni yang disebut Kathakali yang mirip dengan wayang kulit yang dipentaskan baik malam maupun siang hari (seperti wayang lemah), demikian pula pementasan cerita Ramayana, dan Bhimakumara seperti disebutkan dalam prasasti Jaha di Jawa Tengah bersumber kepada Ramayana dan Mahabharata yang di India disebut Ramalila dan Mahabharatalila atau Krishnalila. Beberapa tari lepas di Bali tampak seperti Bharatnatyam di India. Dalam seni arsitektur, struktur bangunan yang disebut Meru dapat dijumpai di Nepal dan di India utara7.
Berdasarkan uraian tersebut maka masuknya Agama Hindu di Bali tidak merusak atau melenyapkan kepercayaan atau kebudayaan, dan bahkan dalam hal tertentu sangat menghargai kepercayaan dan tradisi budaya masyarakat Bali. Demikian antara lain pengaruh atau sinergi Agama Hindu terhadap berbagai aspek atau unsur-unsur kebudayaan Bali yang demikian rupa seperti sulit dibedakan antara Agama Hindu dan kebudayaan Bali yang dapat digambarkan sebagai diagram berikut.
Diagram di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Agama Hindu sebagai titik sentral (pusat). Agama Hindu melalui sistem atau media bahasa, yakni (1) Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno diterima dan dianut oleh masyarakat Bali. Demikian pula melalui media bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno masyarakat Bali yang telah menganut Agama Hindu memperoleh (2) sistem pengetahuan. Selanjutnya diterapkan (3) sistem sosial dengan sebagian masih mempertahankan sistem prasejarah dan sebagian lagi mengambil alih atau bersumber pada nilai-nilai Agama Hindu8. (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi merupakan kelanjutan dari masa prasejarah dan berkembang pula pada zaman sejarah dengan mengadopsi nilai Agama Hindu, misalnya didirikan tempat pemujaan, arca-arca dan sebagainya. (5) Sistem mata pencaharian masyarakat Bali yang pada mulanya bertani dan berburu, setelah adanya hubungan dengan China dan India mendapat pengaruh dari kedua kebudayaan tersebut, terutama dalam perdagngan. Dalam perkembangannya di setiap tempat untuk memperoleh mata pencaharian didirikan tempat pemujaan yang kemudian dikenal sistem Subak dengan Pura Ulunsui, Pura Bedugul, dan di pasar dibangun Pura Melanting sebagai tempat memuja Dewi Sri Laksmi.(6) Sistem religi pada masa prasejarah dengan masuk dan diterimanya Agama Hindu, kepercayaan lama dicerahkan dan didominasi oleh ajaran Agama Hindu. Demikian pula (7) sistem kesenian, akar-akar kesenian yang sudah terdapat pada masa prasejarah dikembangkan dengan tema-tema yang terdapat di dalam Agama Hindu dengan tetap menghargai dan mensinergikan budaya sebelumnya. Ketujuh unsur kebudayaan di atas (lingkaran-lingkaran kecil) berada dalam lingkaran besar kebudayaan Bali dan mendapat pencerahan dan diabdikan kembali kepada keagungan Agama Hindu (lingkaran di tengah-tengah), dengan demikian terjadi jalinan yang sangat halus sehingga sulit membedakan antara Agama Hindu dan kebudayaan Bali.
Persamaan antara religi prasejarah Bali dengan Agama Hindu dapat dilihat beberapa di antaranya melalui perbandingan berikut .
Persamaan antara religi prasejarah Bali dengan Agama Hindu dapat dilihat beberapa di antaranya melalui perbandingan berikut .
Religi Prasejarah | Agama Hindu | ||
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. <!--[if !supportLineBreakNewLine]--> <!--[endif]--> | Sebutan untuk Tuhan adalah Sang Embang/Sang Hyang Tuduh. Dewa yang bersemayam di puncak Gunung Agung disebut To Langkir Tempat yang dipandang suci adalah gunung, sungai, laut. Percaya terhadap kekuatan alam yang disebut Hyang. Percaya terhadap roh suci leluhur dengan perwatan jenasah dan roh suci dianggap bersemayam di puncak-puncak gunung. Membuat tiruan gunung berupa punden berundak-undak, menhir dan tahta batu. Tinggalan situs Gilimanuk ditemukan gigi manusia telah dipanggur. Tinggalan sikap jenasah pada sarkopagus dalam posisi bayi dalam kandungan menunjukkan adanya kepercayaan akan kelahiran kembali. Adanya orientasi arah yang dipandang suci yakni utara dan timur. Adanya persembahan dan bekal kubur. | . 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. | Sebutan untuk Tuhan adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Dewa yang bersemayam di puncak Gunung Agung disebutBhattara Giripati atau Mahadewa. Tempat yang dipandang suci adalah gunung, sungai, laut. Kekuatan alam disebut dengan nama Dewa. Percaya terhadap roh suci leluhur yang disebut Atma dan Atma yang suci bersemayam di puncak-puncak gunung. Membuat tiruan kahyangan dan gunung berupa pura, prasada, candi, meru. Tradisi panggur tersebut berlanjut disebut upacara “mapandes” atau “matatah”, ditemukan dalam tradisi Veda kuno. Kepercayaan terhadap kelahiran kembali disebut Punarbhava atau Samsara. Adanya orientasi arah yang dipandang suci yakni utara dan timur yang disebut Uttara dan Purva. Adanya persembahan dan bekal kubur berupa upakara yajna. |
Seperti telah disebutkan di atas, dilihat dari proses dan sejarah perkembangan agama-agama di Bali, Agama Hindu hampir bersamaan datangnya dengan Agama Buddha, demikian pula dengan Agama Kong Hu Chu atau Tao yang rupanya datang bersamaan dengan adanya hubungan dengan China. Agama Islam datang ke Bali dan tidak mendapat respon atau dipeluk oleh masyarakat Bali. Agama ini sudah ada di Bali abad XIV. Sejak saat itu orang-orang Islam berdatangan ke Bali, terkait dengan kepentingan politik masing-masing kerajaan di Bali. (Wijaya, 2005:36). Penganut Agama Islam adalah para pendatang seperti suku Jawa, Bugis, Sasak, dan Madura. Dalam perkembangan berikutnya pemeluk Agama Islam datang ke Bali berkaitan dengan perdagangan dan mencari nafkah di Bali. Di beberapa daerah utamanya penganut Agama Islam yang terkait dengan kerajaan-kerajaan di Bali umumnya menyatu dalam arti kegiatan suka dan duka dengan komunitas Hindu di Bali dengan tetap mempertahankan identitas agama termasuk budaya asal etnis yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar